
Sejarah Pengadilan
SEJARAH PENGADILAN AGAMA LIMBOTO
Di dataran Gorontalo terdapat beberapa kerajaan yang menguasai daerah teluk Tomini yaitu Kerajaan Suwawa, Kerajaan Limboto, Kerajaan Gorontalo, Kerajaan Bolango, dan Kerajaan Atinggola. Kerajaan-kerajaan tersebut tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang dikenal dengan “LIMO POHALAA” (persaudaraan atau serikat lima kerajaan). Wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan tersebut merupakan yurisdiksi hukum adat Gorontalo sebagai hukum yang disepakati seluruh penguasa kerajaan. Hal itulah yang mendasari Mr. C. Vollenhoven, pada saat memetakan nusantara berdasarkan wilayah hukum adatnya, memasukkan wilayah Gorontalo sebagai salah satu dari sembilan belas wilayah hukum di seluruh nusantara.
Setelah agama Islam masuk di Gorontalo pada tahun 1525, secara bertahap kelima kerajaan tersebut resmi menjadi kerajaan Islam. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang raja atau sultan dan dalam menjalankan pemerintahannya membentuk organisasi pemerintahan yang terbagi atas 3 (tiga) bagian yang dikenal Buatulo totolu yaitu : 1. Buatulo Bantayo yang dikepalai oleh Bate (pemangku adat) bertugas merumuskan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan. 2. Buatulo Saraa (Syara’) yang dikepalai oleh seorang Qadli bertugas dalam bidang hukum agama seperti nikah, talak, cerai, ruju’, malwaris, hadlanah dan lain sebagainya yang sehubungan dengan itu. 3. Buatulo Bala dikepalai oleh Apitalau (kapitan laut) yang bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Hubungan antara adat dan syara’ yang diatur dalam ketentuan yang berbunyi “Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to adati (adat bersendi syara’, pelaksanaan syara’ menyatu dengan adat)”. Pada masa itu, adat maupun syara’ berlaku sebagai sumber hukum kerajaan. Perubahan besar dan vital dalam bidang hukum terjadi pada masa pemerintahan Raja Eyato, ditandai dengan diumumkannya ketentuan atau peraturan Raja yang berbunyi “Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to kuruani” (adat bersendi syara’,syara bersendi Al Qur’an). Sejak masa itulah pemberlakuan hukum adat sesuai dengan syara’.
Kolonialisme Belanda masuk wilayah Gorontalo pada abad 17 dan pada tahun 1889 telah menguasai struktur kerajaan dan meletakkannya langsung di bawah pemerintahan Kolonial. Sejak itulah kerajaan-kerajaan di wilayah Gorontalo dikendalikan Rechtsreaks Bestuur, bagian daerah Afdeling yang diperintah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Bandar Gorontalo. Meski demikian, kegiatan pemerintahan kerajaan tetap bekerja dan bersentuhan langsung dengan masyarakatnya. Pegawai Syara’ atau ke-qadli-an tetap melaksanakan tugas-tugas di bidang hukum agama meskipun qadli beserta stafnya digaji oleh Pemerintah Belanda.
Pada masa penjajahan Jepang, organisasi pemerintahan di wilayah Gorontalo tidak mengalami perubahan. Jepang lebih memperhatikan pertahanan keamanan dari pada mengurus administrasi pemerintahan, sehingga pelaksanaan pemerintahan oleh kerajaan tetap berlangsung seperti pada masa penjajahan Belanda, termasuk ke-qadli-an.
Tugas-tugas ke-qadli-an secara khusus meliputi perkara-perkara antara orang-orang Islam menurut adat istiadat seperti Nikah/Kawin, Cerai, Rujuk, Mahar, Handlanah, Nafkah, Malwaris dan lain sebagainya. Pelaksanaan sidang dilakukan di Masjid dan di serambi rumah. Dibanding sekarang, volume perkara ke-qadhi-an pada masa itu terbilang sangat sedikit, demikian halnya dengan personilnya, hanya ada 1 (satu) orang Qadli, 4 (empat) orang Imam, dan beberapa orang sebagai Kasisi (Mudin).
Pelembagaan ke-qadhi-an di wilayah Gorontalo dari zaman kerajaan hingga zaman pendudukan Jepang menunjukkan bahwa masyarakat Islam di wilayah Gorontalo telah lama mengenal lembaga peradilan, khususnya peradilan agama, meskipun infrastruktur kelembagaannya belum teratur rapi dan modern sebagaimana tergambar dari perangkat hukum formil dan materilnya, mulai dari peraturan penguasa militer Belanda, peraturan Residen, hingga peraturan berdasarkan Swapraja, adat, dan hukum Islam yang bersumber pada kitab-kitab fiqh.
Semenjak tahun 1945 sampai dengan 1952 Qadli tetap melaksanakan tugasnya dalam hal Nikah, Kawin, Cerai, Rujuk, Mahar, Handlanah, Nafkah, Malwaris dan lain sebagainya, yang berhubungan dengan hukum Islam.
Pada tahun 1952 dengan berdirinya Kantor Urusan Agama, maka pelaksanaan pencatatan Nikah, talak dan Rujuk beralih ke Kantor Urusan Agama, sedangkan Cerai, Talak dan lain sebagainya yang berhubungan dengan itu tetap ditangani oleh Qadli.
Setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syari’ah di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan yakni Selawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo) dan Maluku, maka dibentuklah Pengadilan Agama Gorontalo yang yurisdiksinya meliputi seluruh daerah yang saat ini termasuk dalam Provinsi Gorontalo. Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1982 barulah Pengadilan agama Limboto dibentuk berdasarkan surat Keputusan Menteri Agama Nomor 95 tahun 1982 sebagai pecahan dari Pengadilan Agama Gorontalo.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LN. 1989 Nomor 49) merupakan pengakuan eksistensi kelembagaan Pengadilan Agama oleh Negara. Pada mulanya Pengadilan Agama, dalam urusan finansial, administrasi dan organisasi, berada di bawah Departemen Agama, sedangkan untuk teknis yustisial berada dalam pembinaan Mahkamah Agung.
Pada perkembangan selanjutnya, Pengadilan Agama yang sebelumnya masih dalam naungan departemen Agama menjadi salah satu lembaga peradilan yang secara utuh berada di bawah naungan Mahkamah Agung setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Kehadiran sistem satu atap (one roof system) melahirkan perubahan signifikan terhadap lembaga yudikatif pada umumnya dan Pengadilan Agama Limboto pada khususnya.